Rabu, 20 September 2017

Mengajar dengan Bahagia karena Kelas Bukan Penjara

Masa kanak -kanak adalah masa yang paling indah. Banyak kenangan masa kanak-kanak yang sekarang masih terkenang. Salah satu kenangan yang masih membekas adalah peristiwa saat duduk di sekolah dasar.
Saat duduk di sekolah dasar ada kebiasaan guru saya  untuk mengendalikan suasana kelas agar tenang dan sepi yaitu guru memerintahkan siswa untuk "sidakep bari balem". "Sidakep bari balem" sebuah perintah yang menyuruh seluruh siswa menyimpan tangan bersilang atau bersedekap di atas meja dengan terkunci tanpa berkata-apa. Kegiatan itu dilakukan apabila guru akan menerangkan materi pelajaran. Saat  bersidekap mata siswa tertuju pada guru di depan kelas.
"Sidakep bari balem" juga sering dilakukan saat menjelang pulang sekolah. Sebagai rewardsnya siswa yang duduknya paling rapih boleh pulang lebih dulu. "Sidakep bari balem" menjadi salah satu indikator kepatuhan siswa terhadap guru.  Dalam konteks yang lebih luas, model pengendalian siswa dengan cara mengikat siswa secara fisik memang cukup ampuh. Bahkan ukuran kesolehan dan ketaatan siswa kepada guru diukur dari caranya bertingkah laku di dalam kelas. Siswa yang dianggap baik adalah siswa yang lebih banyak diam dan mendengarkan guru. Sebaliknya siswa yang dicap bermasalah diukur dari perilakunya yang aktif bergerak, tak mau diam, cerewet.
Bisa dibayangkan betapa sesungguhnya siswa menderita saat melakukan gerakan"sidakep bari balem". Anak-anak duduk terpaku di atas bangku dengan mulut terkunci dan tangan bersedekap membuat tubuh pegal.  Masa kanak-kanak yang penuh energi yang semestinya disalurkan lewat berbagai aktivitas, malah harus dikunci sedemikian rupa agar guru "bahagia".
Di tingkah sekolah lanjutan kegiatan mengunci aktivitas siswa terus berlanjut. Bahkan untuk mengendalikan siswa ini tak jarang dengan memakai pendekatan fisik. Di tingkat kelas yang lebih tinggi perintah untuk mengendalikan siswa dilakukan dengan tekanan lebih keras.
Para guru lebih menyukai suasana yang tenang , sunyi dan tak  ada gerakan. Sampai saat ini pun rupanya pengertian " belajar yang berhasil"  itu harus dalam suasana senyap, tanpa suara dan tanpa aktivitas berlebihan itu masih dianut sebagian guru. Saat siswa tenang dan sunyi Bapak guru bisa sejenak mengobrol di kantor atau sekedar ceting dengan teman lewat medsos.
Saat duduk di SMA saya sering melihat ada kelas yang sangat sunyi seperti kuburan. Di depan ada Bapak Guru yang duduk sambil mengawasi siswanya yang "sedang belajar".
Kelas yang terkendali tanpa gerakan dan tanpa suara itu telah mengubah wajah kelas seperti penjara. Ruang kelas menjadi ruang yang angker karena banyaknya larangan aktivitas bersuara dan melakukan aktivitas fisik.
Suasana kelas dengan pendekatan jadul itu rupanya bertentangan dengan cara kerja otak. Menurut teori tentang belajar berbasis otak, saat berpikir sebenarnya tubuh perlu bergerak alias ciri orang belajar adalah bergerak. Mengikat tubuh saat belajar berarti menghambat kerja otak. Dalam belajar anak perlu melakukan aktivitas fisik dan juga pada saat bersamaan ada suasana emosional. Gerakan tubuh menyebabkan suasana kelas menjadi gaduh dengan suara-suara siswa. Dalam konteks seperti ini guru hadir sebagai mediator dan fasilitator agar kegaduhan dan keriuhan bisa terkendali . Bahkan guru dapat menstimulus gerakan lewat nyanyian, dan aneka permainan yang memerlukan gerakan tubuh.
Suasana yang riang gembira menjadikan kelas tempat belajar yang menyenangkan memupus kesan suasana kuburan atau penjara. Saat demikian Guru bisa merasakan kebahagiaan bersama dengan siswa. Tulisan Irwan Ardhi  Priyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar