Tahun lalu setelah UN berbasis komputer, kita dibuat heboh oleh komen anak2 SMA setelah mengikuti ujian. Komen itu terasa kocak, lalu diviralkan oleh banyak orang termasuk tidak sedikit oleh guru. Beberapa komen lgsg masuk ke instagram Kemdikbud, bahkan beberapa komen menantang pak Menteri mengerjakan soal. Tidak tanggung2 sebagian memberi komen lebih pedas dan nyinyir datang dari orangtua siswa, politisi, tokoh masyarakat termasuk pendidik. Padahal soal ujian berbasis Higher Order Thinking Skills sudah berlangsung beberapa tahun, hanya istilahnya saja belum populer di saat itu.
Sebagai pendidik atau akademisi, komen2 tersebut sama sekali tidak menghibur sy. Komen2 tersebut pun sy anggap hanya mewakili populasi kecil meski vulgar krn viral. Namun reaksi atas komen tersebut benar2 membuat sy nyesek. Ada yg salah dalam pendidikan kita, pembinaan karakter. Cara menyampaikan pendapat yang ingin menang sendiri, merasa terlalu benar, lalu boleh sewenang2 mendakwa orang di depan publik. Doktrin pendidikan karakter di sekolah ternyata masih belum membekas untuk dibawa pulang menjadi jiwa, menjadi tabiat dalam kesehariannya. Bagi sy ouput pendidikan yang baik adalah akhlak, sementara kecerdasan matematis, kecerdasan konseptual dan aplikatif butuh proses tidak ujug2. Pendidikan harus mampu mencirikan itu, termasuk pembiasaan antri di sekolah meski terlihat kecil namun berdampak besar, termasuk kecerdasan menggunakan gawai secara positif dan edukatif.
Kita terlalu mudah menyalahkan orang lain atas ketidakmampuan kita.
Seperti halnya ribut2 CBT pada Tes CPNS. Beberapa hari lalu status sy ternyata jadi perbincangan di ruang publik secara offline, termasuk guru2 di sekolahku. Tidak sedikit yg mendukung, tidak kurang juga menganggap sy berkata seperti itu karena sy mudah lulus CPNS. Mereka tidak tau, kali ke 3 sy baru lulus tes CPNS. Tak ada pendaftaran online, berjibaku dengan antrian panjang saat bulan Ramadhan, di terik hari menatap anak2 gadis yg bebas menenggak frutang saat puasa dengan alasan privasi. Ikut ujian gagal pula, tanpa tau berapa nilai keluar, tanpa tau apa alasan tidak lulus, namun tetap harus berprasangka baik.
CBT bukan hal baru pada seleksi CPNS. Sistem ini bagus menurut sy, transparan, tidak ada yg disembunyikan dari hasil tes, bisa diuji publik manakala ada seseorang yg tiba2 dianggap lulus di belakang layar, lihat saja jejak tesnya. Tes berbasis komputer pula yg buat kita tau, putri Presiden Jokowi pun harus berjibaku dan tak lulus passing grade. Bukankah kami para PNS ini cukup lama distigmakan dengan pegawai yg menghabiskan anggaran negara terbesar, abdi negara yang malas suka nangkring di warkop, pelayan masyarakat yang buruk, pagawai pemerintah dengan kecerdasan rendah. Lalu saat sistem diperbaiki, rekrutmen yang baik, transparan, teruji, standar meningkat, ramai2 kita ribut.
Lagi-lagi kita sedang mempertontonkan karakter asli kita, reaktif, panik, gagal merasa benar, sistem yang buruk, kebijakan yang buruk. Kita lupa, kita negara besar yang masih tertinggal, dilampaui oleh negara yang dulunya belajar sama kita. Jika semua ditanggapi skeptis, maka energi kita hanya akan habis pada perdebatan sistem, sementara hadirnya kita pun tidak memperbaiki sistem. Nyinyir tanpa solusi.
Trus kl gagal CPNS, apa dunia hanya pada CPNS saja, padahal para calon mertua pun sekarang tidak lagi berkutat pada pertanyaan, anda pegawai kantor mana ?. Jika emang terlalu ngebet PNS, maka pasti kita belajar untuk meningkatkan kualitas, bukan justru menantang orang2 yg tidak ada hubungannya dengan urusan kita. Masak saat Timnas Indonesia kalah dari Singapore, kita menantang Timnas Ghana melawan Singapore. Gagal kita bukan urusan orang, jika tidak suka dengan sistem mending cari lahan lain. Sy pikir pemerintah tidak sembarangan, tidak tiba2 memberi standar, pasti ada kajian2 akademik dan empirik, lalu ada proyeksi hasil rekrutmen yang ideal. Kita berharap pelayanan publik menjadi lebih baik dari abdi negara ini, sehingga stigma di atas tidak melekat lagi pada PNS.
Pemuda kita sungguh rapuh jika hanya bisa garang di instagram dan sosial media tp tidak menunjukkan kualitas mental ketika gagal, justru cari tenar dengan menyalahkan orang lain.
Tugas berat bagi kami di ruang pendidikan karena sumber perubahan masyarakat sesungguhnya berawal di pendidikan. Generasi ke depan harus kuat, tidak hanya kualitas otak, namun kesiapan mental ketika gagal. Sering sy pesankan itu di ruang kelas sy, bahwa pahlawan bukan orang tak pernah gagal, tapi mampu kuat bangkit berkali2 atas kegagalannya. Jangan jadi seperti strawberry, indah dipandang tapi rapuh saat disentuh.
Matangkuli, 11 Nov 2018
Utk Hari Pahlawan
Tulisan Khairuddin IGI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar