Minggu, 29 Agustus 2021

ABU BEUREUEH, PUSA DAN KONSOLIDASI ULAMA ACEH

Keterangan Foto: Makam Abu Beureueh, Rabu, 26/8/2021

 ABU BEUREUEH, PUSA DAN KONSOLIDASI ULAMA ACEH. ini saya pulang kampung untuk sebuah urusan keluarga. Saya melintas Beureunun dan Shalat Ashar di Mesjid Baitul A'la lil Mujahidin.

Nama yang ditabalkan untuk mesjid ini sarat dengan nuansa ideologis dan perjuangan. 

Mesjid ini dibangun Abu Beureueh dkk setelah beliau turun dari mardhatillah --- sebuah sebutan untuk lokasi perjuangan DI/TII Aceh yang dipimpin Allahyarham Abu Beureuh.

Di masa tua , Abu Beureureuh menghabiskan sisa umurnya di mesjid ini. Beliau sepanjang hari berada di sini dan nenerima tamu dari berbagai kalangan dari berbagai wilayah Aceh. 

Kecuali beberapa tahun, ketika tahun 1978 beliau "diculik" dan diasingkan ke Jakarta. Paska bebas dari "penculikan" beliau kembali ke mesjid ini dan pada tahun 1987 beliau meninggal.

Ada cerita menarik terkait pembangunan mesjid ini.

Karena ketokohan dan kewibawaan Abu Beureuh, banyak pihak yang datang membantu biaya dan material pembangunan. Konon menurut cerita sejumlah pihak mesjid ini tidak siap-siap.

Ternyata ini merupakan strategi Abu Beureueh. 

Lewat "modus" Pembangunan Mesjid Baitul A'la lil Mujahidin rupanya Abu Beureuh mampu menyelesaikan pembangunan mesjid di sejumlah wilayah lainnya di Aceh. 

Setiap ada tokoh yang menjumpainya dan menyampaikan keluhan kendala pembangunan mesjid di wikayah mereka, Abu Beureueh langsung membantu dari sumbangan berbagai pihak kepada Mesjid Baitul A'la lil Mujahidin.

Setelah merasa sejumlah mesjid di Aceh cukup dibantunya barulah kemudian Abu Beureueh menyelesaikan mesjidnya sendiri.

Mesjid ini sangat dekat dan melekat dengan nama Abu Beureueh. Mayoritas orang yang tahu peristiwa ini bahkan menyebut nama mesjid ini dengan Mesjid Abu Beureueh.

Salah satu personifikasi kedekatan Abu dengan mesjid ini terlihat dari letak makam Abu Beureueh persis di samping dinding kiri mesjid ini.

Beberapa saat setelah Shalat Asar tadi saya bersama keluarga berziarah dan berdoa di kubur Jendral Trituler ini.

Saat berziarah tadi, tiba-tiba saya teringat sebuah peristiwa kecil tahun 1987.

Hari itu, Rabu sore, 10 Juni 1987, kami bersama kawan-kawan sedang bermain di depan rumah. Di Gampong Bayi Kecamatan Tanah Luas Aceh Utara. Sebuah kampung yang jauh di pedalaman Aceh Utara di kaki gunung.

Tiba- tiba rumah kami kedatangan tamu. Seorang laki-laki paruh baya datang dengan mengendarai Vespa abu-abu. Waktu itu motor merek Vespa barang mewah. 

Di satu kecamatan kami paling ada satu atau dua vespa milik orang berada. Sekalipun mereknya vespa  orang kampung kami menyebut berbagai merek motor dengan satu nama: Honda.

Tamu yang datang itu namanya  Tgk. Aceh. Karena saya masih kecil, saya tidak tahu  nama asli dari Tgk Aceh.

Beliau adalah Ketua PPP Kecamatan Tanah Luas. Beliau berdomisili di Keudee Blangjrue.

Tgk Aceh tidak lama singgah di rumah kami. Dia hanya sejenak bertemu Abi, orang tua kami, Tgk. Abdul Djalil El-Madny alias Tgk Di Cot Mane. Terlihat buru-buru dengan wajah agak murung, lagee ureung jak cok apui, Tgk Aceh langsung pamit.

Sayup-sayup saya menguping pembicaraan Tgk Aceh dengan orang tua kami. " Abu Beureueh ka geutinggai geutanyoe". Abi terlihat terkejut. 

Sore itu juga bersama sejumlah masyarakat kampung kami, Abi melaksanakan shalat ghaib untuk Abu Beureueh.

Karena sudah usia SMP saya tahu kenapa Tgk Aceh memberitahu Abi perihal meninggalnya Abu Beureueh. Lalu kenapa Abi seperti terpukul menerima kabar duka itu. Kepada kami di waktu kosing Abi sering bercerita banyak hal, termasuk cerita Abu Beureueh yang dikaguminya itu.

Tgk Aceh merasa perlu mengabari Abi karena waktu itu Abi dikategorikan loyalis PPP dari segmen Perti. Selain itu, Abi juga diketahui sebagai bagian dari tokoh DI/TII di kampung kami yang seperti Abu Beureueh tidak "menyerah" paska Ikrar Lamteh.

Ceita ringan di atas hanya sebagai bagian dari upaya mendeskripsikan sekaligus menjelaskan bahwa sebagai ulama pergerakan -- terlepas ada yang tidak sepakat dengan nya -- memiliki jaringan yang luas dan solid di Aceh.

Karena jaringan yang luas, konsolidasasi yang terukur di seluruh Aceh, serta integritas dan ketokohannya yang diakui, tidak hanya di Aceh tapi juga sampai ke Jakarta, maka ketika itu kala Jakarta berkepentingan dengan Aceh, maka Jakarta memiliki ketergantungan kepada tokoh dam sosok ulama yang bernama Daud Beureueh. Bukan tokoh politik lainnya seperti Teuku Nyak Arif, Hasymy dan lain-lain.

Kenapa itu terjadi?.

Jawabannya adalah konsolidasi. Waktu itu lewat PUSA, para ulama berhasil menkonsolidasi diri dan umat yang mencengangkan Jakarta. Maka DI/TII Aceh pun dianggap sebuah persoalan besar karena dipimpin ulama pergerakan, sekalipun kemudian berhasil dibenamkan.

Memang setia waktu ada tokohnya. Setiap tokoh ada waktunya.

Abu Beureueh beserta para ulama Aceh waktu itu menemukan momentum lewat konsolidasi PUSA. PUSA sebagai wadah ulama Aceh kala itu berhasil menjadi mainstream dalam berbagai dinamika sosial politik di Aceh. Termasuk ikut menentukan ritme hubungan Aceh - Jakarta yang lebih fair play.

Organisasi apapun tanpa konsolidasi menjadi seperti harimau ompong. Atau singa tidur. Dan PUSA telah memberikan pelajaran kepada kita.

Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) didirikan pada 12 Rabiul Awal 1358 H atau 5 Mei 1939 M di Matang Geulumpang Dua, Aceh Utara (sekarang Bireuen), merupakan satu organisasi keagamaan yang besar dan kuat di Aceh pada era 1950-an. PUSA diprakarsai dan didirikan oleh para ulama modernis, seperti Tgk Abdurrahman Meunasah Meucap, Ayah Hamid Samalanga, Tgk Abdullah Ujong Rimba, Tgk Muhammad Daud Beureu-éh, dan lain-lain.

Komposisi pendiri dan pengurus PUSA di atas sekaligus sebagai konfirmasi bahwa ulama Aceh dapat bersatu dalam sebuah wadah untuk kepentingan besar dan jangka panjang, sekalipun di antara mereka ada perpedaan perspektif terkait urusan furu' keagamaan.

Tujuan utama pembentukan organisasi ini antara lain dimaksudkan untuk memajukan dunia pendidikan dan memperkuat ukhuwah Islamiyah di Aceh.

Kongres PUSA yang diinisiasi oleh Teuku Chik Muhammad Djohan Alamsyah yang dikenal sebagai Ampon Syik Peusangan Meunasah Meucap di Matang Glumpang Dua. Dia merupakan ulee balang moderat yang disegani oleh Belanda. Namun pada pelaksanaannya, Ampon Syiek Peusangan yang semula merencanakan kongres ini sakit. Dan terpilihlah Teungku Daud Beureueh sebagai Ketua PUSA secara aklamasi.

Melalui ide reformasi Islam, gerakan ini telah mampu memperkuat identitas keislaman masyarakat dan renovasi historis masyarakat Aceh secara keseluruhan. 

Paska PUSA meredup, ada sejumlah organisasi dengan genetik yang sama muncul di Aceh.

Kita berharap di antara organisasi yang ada itu, akan ada momentum baru yang datang. Dengan syarat: Mampu membaca dan merebut momentum itu.[]

Keterangan Foto: Makam Abu Beureueh, Rabu, 26/8/2021
sumber: akun FB Usamah El Madny
Saya ambil sebagai sumber inspirasi untuk saya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar