*MEMBENTUK GENERASI CARONG DAN MEUADAB*
Oleh. Nazarullah, S. Ag, M. Pd
Maraknya ungkapan saling menghujat yang di sana melibatkan siswa Lembaga Pendidikan Agama Plus santri Dayah dan Perguruan Tinggi/Sekolah Umum saat ini, terutama di Media Jejaring Sosial seperti Facebook, menggelitik penulis untuk mencoba mengangkat tulisan ini. Semoga saja, akan jadi renungan bagi para pembaca dan juga Pimpinan Lembaga pendidikan serta sahabat-sahabat Fillah, yang menuntut ilmu di berbagai lembaga pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa, Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaan dari penjajah Belanda dan Jepang sejak 73 tahun yang lalu. Namun ironisnya, penjajah sudah kita usir dari bumi Persada Indonesia, tapi ajaran dan warisan mereka malah justru kita gunakan dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu warisan Belanda yang kita lestarikan di Indonesia sampai saat ini adalah bentuk sistem Pendidikan yang sering kita sebut dengan Pendidikan Agama dan Umum.
Pola Pendidikan Agama dan Umum adalah pola Pendidikan yang ditinggalkan Penjajah Belanda untuk generasi Indonesia. Dari berbagai literatur Khazanah Pendidikan Islam semenjak Rasulullah, tidak dikenal dua istilah tersebut, karena semua ilmu yang ada adalah berasal dari Allah SWT. Artinya, ummat Islam harus mengerti ilmu Al-Quran secara menyeluruh termasuk ilmu fiqih dan teknology.
Dichotomi pendidikan bagi masyarakat Islam justru akan mengantarkan umat Islam menjadi mundur, atau bahkan akan menjadi “bulan-bulanan” negara non muslim.
Begitu juga dengan masyarakat Islam di Indonesia, saat Belanda hengkang dari Indonesia 73 tahun yang lalu, mereka telah merubah wajah pendidikan di Indonesia menjadi dua bagian, Pendidikan Agama dan pendidikan Umum.
Tidak hanya sampai di situ, dalam memilih diantara dua lembaga ini, Belanda juga menitipkan propaganda (Defide et impera). Sehingga, siswa pada dua lembaga ini akan saling menghujat dan mencaci maki. Yang belajar di sekolah umum dilebelkan dengan orang-orang sekuler, dan yang duduk di Lembaga Pendidikan Agama di cap sebagai siswa/santri yang kolot atau bahkan dari kalangan Pesantren diberi lebel sarang teroris.
*Pendidikan Warisan Belanda*
Kenapa istilah ini muncul? Jawabannya karena kita menerima sistem Pendidikan yang diwarisi Penjajah Belanda. Padahal dalam Islam, semua ilmu itu harus digali oleh umat Islam. Lihatlah masa-masa keemasan Kekhalifahan Islam, Para ulama atau kita sebut juga dengan ilmuan, menjadi pioneer pencetus ilmu pengetahuan dan teknology sebagai sumbangsih kemajuan peradaban dunia.
Bacalah sejarah Ibnu Sina, seorang ulama/ilmuwan bagian kedokteran, Al-jabar dan juga Muhammad Bin Musa Al-Khawarizmi di bidang Matematika. Bahkan, Abbas ibnu Firnas adalah seorang ulama Islam yang merintis tecnologi pesawat terbang yang lahir di Andalusia pada tahun 810 M dan meninggal 12 tahun setelah kecelakaan ujicoba pesawatnya yang kedua (wafat tahun 887 M). Hal ini mensinyalir bahwa penemu pesawat terbang bukanlah Wright Brothers yang hidup pada tahun 1871-1912 M. (sebuah manipulasi sejarah dunia).
Kenapa ulama-ulama atau ilmuan terdahulu banyak yang berhasil? Dikarenakan, mereka memahami bahwa ilmu itu semua penting dan semuanya berasal dari Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka berhasil karena semua ilmu itu dipahami sebagai ilmu agama.
Hal ini mengindikasikan bahwa, membuat pesawat terbang, pintar Matematika, jadi Dokter, bukanlah menuntut ilmu pengetahuan umum, tapi semua umat Islam harus menggali ilmu itu untuk kemajuan Peradaban Islam. Dengan demikian, pemisahan ilmu dan juga mengistilahkan pendidikan agama dan umum adalah sebuah sikap kemunduran. Karena, bisa menimbulkan kesan bahwa, ummat Islam tidak perlu menggali teknology karena tidak bisa menjadi “tiket” menuju ke Syurga.
Wal hasil, hampir semua wilayah yang mayoritas penduduk Islam dijajah dan diperangi oleh non muslim. Konyolnya lagi, ketika ada negara yang manyoritas muslim di perangi oleh non muslim, negara Islam lainnya hanya bisa mengirim “Doa” sebagai wujud solidaritas dan tidak bisa mengirim “Pesawat tempur beserta amunisi” karena ummat Islam miskin ilmu di bidang itu.
*Saling Membenci*
Bagaimana dengan kita di Indonesia? Setali tiga uang, itulah jawabannya. Pemisahan dua lembaga antara agama dan umum, telah mengantarkan masyarakat kita menjadi masyarakat terjajah “Pola Modern”. Atau bahkan lebih serius dari itu, pemisahan dua lembaga ini telah menjadikan masyarakat kita untuk saling membenci dan mencaci- maki.
Bukalah jejaring sosial seperti Facebook atau lainnya. Secara terang-terangan, media itu telah dijadikan sebagai alat untuk saling “mengkafirkan” antar generasi Islam Indonesia. Produk kurikulum pendidikan agama dan umum juga termasuk di dalamnya kurikulum Dayah/Pesantren.
Devide et Impera yang diwarisi Belanda lewat pemisahan Lembaga Pendidikan Agama dan Umum, ternyata cukup ampuh untuk memporak-porandakan penduduk Islam Indonesia. Kalau sesama Islam di Indonesia sudah saling bermusuhan, kapan lagi Persatuan Indonesia akan kita tegakkan?
Perang saudara sedang mengintip kita di Indonesia, itulah “BOM WAKTU” yang sedang ditunggu-tunggu non muslim. Oleh karena itu, berfikirlah dengan bijak, satukan visi dan misi pendidikan kita, bahwa Islam itu tidak mengenal pemisahan pendidikan. Yang ada hanya ilmu itu semuanya penting dan bersal dari Allah SWT.
*Aceh Carong dan Meuadab*
Untuk menyukseskan program Aceh carong dan meuadab yang digulir oleh pemerintahan Aceh era Irwandi-Nova, peserta didik yang ada di berbagai lembaga Pendidikan di Aceh, kini saatnya diperkuatkan dengan Aqidah dan Akhlak Mulia, agar mereka akan menjadi ilmuan atau pakar (carong) yang berbasis Al-Quran dan Al-Hadits dan juga dibingkai dengan adab dan sopan santun (meuadab). Hingga suatu hari nanti, masyarakat Aceh akan menjadi masyarakat yang bisa bersanding dan bersaing dengan provinsi serta negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya.
Sudah saatnya, Aceh menjadi daerah yang dalam Al-Quran disinyalir dengan ungkapan “Basthatan Fil Ilmi wal Jismi. Tapi dengan satu syarat, hapuslah sistem pendidikan dichotomi. Karena dengan dichotomi pendidikan akan menjadikan bangsa Aceh sebagai bangsa yang mundur dari ilmu pengetahuan dan teknology.
* Penulis adalah Widyaiswara di Balai Diklat Keagamaan Aceh.
Email: nazarullah_za@yahoo.co.id